Senin, 09 Februari 2009

nO NaMe

Pagi ini, kali kedua aku bertemu dengannya. Setelah seminggu yang lalu ia tetap saja memasang mukanya yang dingin, beku, dan tak bersahabat. Bahkan baju serta tas yang ia kenakan masih sama ketika aku pertama kali bertemu dengannya dulu. Baju berkerah dengan warna abu-abu tua dan tas hitam dengan merek besar ALTO yang sudah tua itu masih saja setia menemani langkahnya. Tapi yang berbeda kali ini hanyalah tasnya,yang aku sendiri hanya dengan melihatnya memakai tas itu saja sudah sangat capek. Mungkin saja isinya sangat berat. Sampai-sampai pemuda itu mengucurkan peluh di keningnya.

Aku duduk dibawah pohon beringin yang cukup besar. Aku memang sangat menyukai pohon ini. Selain bisa melindungi dari panas matahari, pohon ini juga bisa membuat perasanku segar meskipun tugas-tugas kampus banyak yang menumpuk.

Kuperhatikan dan kuamati hampir semua mahasiswa dan mahasiswi yang berjalan didepanku. Mataku tertuju pada pemuda aneh dan misterius itu. Ia berdiri diujung koridor kampus. Buku yang ia baca sepertinya buku yang dibagikan oleh dosen tergalak di kampus ini, Bu Ratna. Keyakinanku beralasan, karena aku pernah melihat buku yang sama di kamar kost sahabatku, Marni. Yah, kebetulan Marni dan pemuda yang ternyata bernama Syaiful itu se-prodi. Program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Kampus yang  oleh mahasiswanya disebut kampus ungu.

Sesekali ia melirik jam tangan yang ia pakai. Tak lama kemudian ayunan langkah kakinya menyentuh ubin berwarna putih secara bergantian, kiri lalu yang kanan. Ia melangkah meyusuri koridor kampus menuju salah satu ruangan ujung yang letaknya dekat tangga menuju lantai dua kampus. Pandangannya lurus, tak pernah sedikitpun ia menoleh kekiri maupun kekanan. Padahal jarak antara koridor dan ruangan itu sekitar 20 meter. Cukup jauh menurutku dan tentu cukup waktu untuk bisa melihat keadaaan sekitar.

Ia memang pria yang aneh. Sepertinya ia seseorang yang tidak mau peduli dengan apa yang terjadi disekelilingnya. Ia tidak butuh teman, sahabat atau siapa pun yang bisa diajak berbagi. Aku bisa melihat itu meskipun Marni sudah bercerita banyak tentangnya.

Setelah sampai pada ruangan paling ujung itu, ia berbelok masuk dan menghilang dari pandanganku. Aku bahkan tidak sadar kalau sedari tadi aku asyik memperhatikan pemuda itu, tanpa menyadari ada orang lain yang mengamatiku.

“Assalamu Alaikum, Nisa,”

“Wa’Alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”

“Aduh, sahabatku kayaknya lagi tertancap panah cupid ya?”, Tanya Marni mencoba menggodaku.

“ Marni, Marni, su’udzan lagi. Gak bai tau, dosa. Lagian masih percaya sama dewa-dewaan segala. Ingat, kita ini kan muslimah,”.

“ He…he… Iya Ustadzah Nisa, aku ngerti. Maaf ya? Abis dari tadi aku perhatikan bukannay buku yang kamu pegang dibaca, eh, malah asyik ngeliatin orang yang gak jelas kayak Syaiful. Rugi tau.”

“ Tuch kamu ya, senang banget ngeledekin orang. Kita kan belum tahu betul kenapa Syaiful begitu. Iya, kan? Sebagai teman yang baik harusnya kamu bantu dia supaya bisa bergaul dengan banyak orng, jadinya gak keliatan aneh.” Ucapku sebagai saran.

“ Yee,,, sahabatku yang satu ini emang the best deh. Kamu tuh peduli sama oran lain, perhatian, suka menolong suka menabung, dan gak makan sabun. He… he.. Nisa, Syaiful itu emang gitu orangnya. Sangat suit didekati, diberi tahu, dan diajak berunding. Ka kamu sendiri juga sudah liat gimana muka dinginnya. Aku aja takut deketin dia. Ampun dech,” tukasnya.

“ Emang susah ya, tapi kao niatnya baik, aku yakin pasti bisa. Barangkali saja dia lagi punya banyak masalah atau ada suatu hal lain yang bikin dia gak mau berteman dengan siapapun. Ya kan? Insya Allah bisa,” ucapku semangat.

Aku juga terkadang heran kenapa aku bisa simpati dan ingin tahu banyak tentang dia. Mungkin saja karena aku tahu dia salah satu mahasiswa yang dianggap berprestasi dikapus. Atau karena dorongan dari dalam diri, bahwa aku memang selalu penasaran dengan hal yang baru dan aneh. Termasuk Syaiful.

Handphoneku tiba-tiba saja berbunyi. Aku tahu itu pasti alarm yang menandakan aku harus segera asuk dalam kelas. Aku bisa tahu itu dari nada deringnya, lagu yang paling aku suka, Bunda, ciptaan Melly Goeslaw, penyanyi yang selalu tampil dengan gaya dan warna yang selalu berubah.

Aku memang sudah terbiasa menggunakan alarm, yah, karena aku pelupa. Selain itu, aku berfikir handphoneku bisa kumaksimalkan penggunaannya. Bukan hanya menelpon, menerima telepon, sms, atau menerima sms. Sayangnya, handphoneku Cuma handphone biasa, tak punya kamera. Maklum, mahasiswi daerah. Itupun kudapatkan dari paman yang datang dari perantauan di negeri orang. Bagaimanapun itu, aku tetap bersyukur, setidaknya handphone ini sangat berguna bagiku.

Aku kembali melirik handphone mungil yang sedari tadi ada dalam kantong rok yang kupakai. Di layarnya tertulis, TIME 4 SPEAKING CLASS……..

Belum sempat aku menghabiskan kata dalam layar itu, kakiku sudah melangkah menuj lantai 2 gedung yang menurutku sudah berpuluh tahu umurnya. Kususuri satu demi satu anak tangga dengan pegangan besi yang sudah berkarat, dan dinding yang penuh dengan kotoran dari tangan-tangan manusia yang jahil dan kerjanya hanya bisa merusak, menurutku. Padahal tak sedikit dari mereka yang tahu bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Yah, tidak bermaksud untuk menuduh, tapi aku pernah mendapati beberapa orang yang bergelut dalam organisasi kampus yang selalu meneriakkan kata penindasan, atau tunttan kepada pihak birokrasi kapus malah merusak sarana kampus mereka sendiri. Sangat tidak adil kan?

Pikiranku buyar, aku melihat Syaiful, pemuda yang kuperhatikan pagi tadi. Ia berdiri mematung saat ditanyai oleh beberapa orang di depan salah satu secretariat organisasa Mahasiswa Pecinta Alam. Tasnya saja masih ia pakai. Salah satu dari mereka bersuara keras dan lantang. Aku ingin berhenti dan membantunya, tapi aku yakin Syaiful bisa menghadapi gerombolan orang tak jelas itu.

“ Dia kan laki-laki,” gumamku dalam hati.

Dan ternyata dugaanku benar, dia berhasil pergi. Tanpa pukulan.

Aku kembali membalikkan badan ketika mendengar suara sepatu Syaiful, sediit memastikan dia akan baik-baik saja

“ Ah, Alhamduillah dia tidak apa-apa,” gumamku.

Perhatianku ke Syaiful bukan karena alasan apa-apa. Tapi aku terkadang muak dengan sikap senior atau bahkan teman seangkatan yang berfikir kalau mereka sudah cukup jago karena telah masuk dalam organisasi. Mereka mulai mengganggu orang lain, bahkan seringkali memukul. Mahasiswa baru yang lebih banyak jadi korban. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar